Makassar. Gema Pembebasan-Forum bebas
gerakan mahasiswa pembebasan, Dialog Pembebasan kembali hadir di kampus merah Universitas Hasanuddin. Dialog Pembebasan dalam seri ke lima puluh dua ini mengambil tajuk “Pilwalkot dan Sikap Politik Mahasiswa”.
Dialog pembebasan dilaksanakan pada hari Rabu, 04 September 2013. Mengambil tempat di sekitar pelataran ruangan kuliah Mata Kuliah Umum (MKU) Unhas. Sekira 20-an peserta forum bergumul membentuk lingkaran dalam diskusi bebas kali ini. Dialog dimulai sekitar pukul 16.15 WITA bertindak sebagai fasilitator adalah Busrah Hisam Ardans. Salah satu anggota gerakan mahasiswa (gema) pembebasan komsat Unhas angkatan 2011, mahasiswa fakultas peternakan.
Isu yang diambil merupakan isu lokal untuk wilayah kota Makassar. Tema ini terkait dengan kondisi politik kota Makassar yang memanas menjelang pemilihan umum wakil dan walikota Makassar di sekitar pertengahan bulan ini.
Perjamuan pesta demokrasi di tingkat kota provinsi ini merupakan salah satu pilar demokrasi dalam bidang pemerintahan. Setidaknya ada 10 calon walikota dan wakil walikota yang berkompetisi dalam perhelatan dalam memperubutkan tampuk kepemimpinan di tingkat kota ini menjelang berakhirnya masa jabatan Ilham Arif Sirajuddin dan Supomo Guntur.
Perbincangan peserta diskusi membahas mengenai manuver-manuver politik para calon walikota dalam memenangkan proses pemilihan umum ini. Manuver-manuver politik yang dimainkan oleh para calon walikota ini, seperti biasa tetap menonjolkan jualan-jualan janji manis yang sifatnya pragmatisme. “Beberapa calon walikota menjanjikan listrik gratis, sewa pete-pete gratis dan ada pula yang mengiming-imingi masyarakat dengan sejumlah uang jutaan rupiah per satu keluarga dalam mengembangkan usaha”, papar Busrah.
Dalam selebaran yang dibagikan oleh gerakan mahasiswa pembebasan komsat Unhas disampaikan salah satu isu yang ditonjolkan adalah permasalahan gender. Muhyina Muin yang merupakan salah satu calon walikota Makassar mengemukakan bahwa keterwakilan dan aspirasi perempuan perpolitikan di
Indonesia, khususnya di Makassar masih sangat kurang. Pemimpin perempuan harus memperjuangkan hak-hak perempuan dan memberikan ruang yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam setiap kebijakan yang diambil. Demokrasi memang menjadi bekingan tetap bagi kesetaraan gender.
Tema kali ini menghadirkan banyak pertanyaan serta tanggapan dari peserta forum ini mengenai aksi politik pemerintah yang menjajikan sebuah harapan kepada masayarakat, namun itu hanyalah sebuah modus politik belaka. Pendidikan politik dalam sistem demokrasi hanya mengahasilkan sikap utilitarian, pragmatisme, hanya mengejar asas manfaat belaka. Praktek ini gampang terlihat dengan ketidak konsistenan masyarakat dalam menentukan siapa yang mereka pilih. Tergantung kepada seberapa besar angpau yang mereka dapatkan. Sehingga praktek black campaign, serangan fajar sudah menjadi cerita lama dalam mekanisme pemilihan umum ini.
“Sebagai seorang mahasiswa kita harus menentukan sikap politik sebagai refleksi fakta yang terjadi di masyarakat dewasa ini. Sikap politik sebagai seorang muslim senantiasa harus disandarkan pada pandangan politik dalam
Islam. Dalam Islam, politik artinya mengurusi urusan ummat”, imbuh Indra dalam dialog kali ini.
Dalam Islam membimbing manusia untuk mengikatkan diri dalam setiap aktivitasnya. Salah satu aktivitas itu adalah pandangan politik seorang mahasiswa. Dalam Islam, pemilu memang ada dan dibolehkan (mubah). Sebab, kekuasaan itu ada di tangan umat (as-sulthan li al-ummah). Ini merupakan salah satu prinsip dalam sistem pemerintahan Islam (
Khilafah). Prinsip ini terlaksana melalui metode ba’iat dari pihak umat kepada seseorang untuk menjadi khalifah. Namun, perlu dipahami, bahwa pemilu hanyalah cara (uslub), bukan metode (thariqah). Cara mempunyai sifat tidak permanen dan bisa berubah-ubah, sedangkan metode bersifat tetap dan tidak berubah-ubah. [] Adi/IW